Beranda | Artikel
Nabi Muhammad Di Utus Untuk Menjadi Rahmat Bagi Seluruh Alam
Jumat, 11 Juni 2021

NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM DI UTUS UNTUK MENJADI RAHMAT BAGI SELURUH ALAM

Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat حفظه الله

بسم الله الرحمن الرحيم
اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ رَحْمَةً ِللْعَالَمِيْنَ  وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ الرَّحْمَةِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ

Berikut ini sebuah risalah kecil -semoga bisa mendatangkan manfa’at besar- tentang tafsir salah satu firman Allâh Azza wa Jalla yaitu :

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

Tidaklah Kami mengutusmu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam. [Al-Anbiyâ’/21:107].

Ayat rahmat yang sangat agung dan bersifat umum ini telah menjelaskan kepada manusia beberapa hal :

  1. Pertama: Bahwa Allâh Jalla Dzikruhu telah mengutus hamba-Nya dan Rasul-Nya yang mulia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam yang terdiri dari kelompok-kelompok mahluk seperti alam manusia, alam Malaikat, alam Jin, alam hewan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus sebagai rahmat bagi mereka semua.
  2. Kedua: Bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diciptakan dan disifatkan serta dihiasi pada diri beliau dengan rahmat.
  3. Ketiga: Bahwa Agama yang beliau bawa –Islam- semua ajarannya adalah rahmat bagi jin dan manusia yang terkena taklif (beban) dari Rabbul ‘alamin.
  4. Keempat: Bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam di utus dan datang kepada manusia dan jin dengan segala kebaikan dunia dan akherat.
  5. Kelima: Bahwa al-Qur’ân yang diturunkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi rahmat terbesar bagi mereka.
  6. Keenam: Bahwa ayat yang mulia ini menjadi bukti terbesar kenabian dan kerasulan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dan seterusnya…

Maka saya tulis risalah ini untuk menjelaskan sebagian dari apa yang saya sebutkan tadi, dan untuk meluruskan kesalahpahaman terhadap Islam dan terhadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabiyyur rahmah.

Selamat membaca dan menikmati rahmat yang sangat agung ini…!

NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM DI UTUS UNTUK MENJADI RAHMAT BAGI SELURUH ALAM

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

Tidaklah Kami mengutusmu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam [Al-Anbiyâ’/21:107]

Ayat yang mulia ini merupakan ayat terbesar yang menjelaskan kepada manusia, bahwa Allâh telah mengutus Nabi-Nya dan Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Rahmat secara umum dan merata kepada semuanya. Karena lafazh al’alamîn menunjukkan makna mutlak dan umum, maksudnya rahmat untuk mereka semuanya.

Rahmat untuk alam manusia –yang Mukmin dan yang kafir-; Untuk alam Malaikat; rahmat untuk alam jin – yang Mukmin dan yang kafir – dan rahmat untuk alam hewan.

Adapun rahmat untuk yang beriman, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan hidayah kepada mereka, dan memasukkan keimanan ke dalam hati mereka. Kemudian juga memasukkan mereka ke dalam surga dengan sebab amalan mereka yang telah mempraktekkan ajaran yang di bawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sisi Allâh Azza wa Jalla .

Sedangkan rahmat untuk orang-orang kafir, yaitu Allâh Azza wa Jalla tidak langsung mengadzab mereka di dunia ini seperti Allâh Azza wa Jalla telah mengadzab dan membinasakan orang-orang kafir sebelum mereka yang telah mendustakan para Nabi dan Rasul.[1]

Ketika menafsirkan ayat yang mulia ini, al-Hâfizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla telah memberitahukan bahwa sesungguhnya Allâh telah menjadikan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rahmat untuk seluruh alam. Yakni Allâh telah mengutusnya untuk menjadi rahmat bagi mereka semuanya. Maka barangsiapa menerima rahmat ini dan mensyukuri nikmat ini, pasti dia akan berbahagia di dunia dan di akherat. Tetapi barangsiapa menolak rahmat ini dan menentangnya, pasti dia akan merugi di dunia dan di akherat.

al-Hâfizh Ibnu Katsir rahimahullah juga mengatakan, “Jika ada yang bertanya, ‘Rahmat apakah yang diraih oleh orang-orang yang kafir ? Maka jawabannya apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarîr…” (kemudian beliau rahimahullah membawakan sebagian dari apa yang ditafsirkan oleh al-Imam Ibnu Jarir yang telah saya kutip sebagiannya).

Atau yang dimaksud dengan rahmat bagi yang kafir, baik manusia maupun jin ialah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang kepada mereka dengan membawa segala kebaikan dunia dan akherat untuk kebahagian dunia dan akherat mereka. Itulah rahmat dan kebaikan yang sangat besar untuk mereka. Tetapi mereka telah menyia-nyiakannya. Akibatnya, pasti akan menimpa mereka kerugian yang sangat besar yang harus mereka tanggung bagi dunia dan akherat mereka.

Al-Imam asy-Syanqithiy rahimahullah di tafsirnya Adhwâul Bayân (4/250-251) mengatakan ketika menafsirkan ayat yang mulia ini, “Allâh Azza wa Jalla telah menerangkan dalam ayat yang mulia ini, sesungguhnya Dia tidaklah mengutus Nabi yang mulia ini n kepada seluruh mahluk-Nya, melainkan sebagai rahmat bagi mereka. Karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dengan membawa apa yang dapat membahagiakan mereka, dan apa yang bisa mereka pergunakan untuk meraih segala kebaikan dunia dan akherat, jika mereka mengikutinya. Tetapi orang yang menyalahi dan tidak mengikuti, berarti dia telah menyia-nyiakan rahmat yang menjadi bagiannya.

Sebagian ahli ilmu telah membuat permisalan, seraya berkata, “Kalau Allâh Azza wa Jalla memancarkan mata air yang banyak untuk makhluk dan mudah di ambil, lalu (sebagian) manusia menyirami tanaman-tanaman mereka dan memberi minum kepada ternak-ternak mereka dari air itu. Dengan sebab itu, niscaya mereka akan mendapatkan nikmat yang berkesinambungan. Tetapi sebagian manusia yang lainnya, yang lalai dan malas dalam beramal, maka mereka telah menyia-nyiakan bagian mereka dari mata air tersebut. Mata air yang terpancar itu pada hakikatnya adalah bagian dari rahmat Allâh, dan merupakan nikmat untuk kedua golongan manusia tadi. Akan tetapi bagi orang yang malas, maka hal itu merupakan ujian pada dirinya, karena dia telah mengharamkan nikmat yang bermanfa’at itu untuk dirinya”.

Yang demikian telah dijelaskan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya :

اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ بَدَّلُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ كُفْرًا وَّاَحَلُّوْا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِۙ

Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allâh dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan. [Ibrâhîm/14: 28]

Apa yang Allâh Azza wa Jalla sebutkan dalam ayat yang mulia ini[2], yaitu Allâh tidaklah mengutus beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam, menunjukkan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang membawa rahmat bagi mahluk. Rahmat itu meliputi al-Qur’ânul ‘adzhîm ini. Hal ini telah dijelaskan di beberapa tempat dalam Al Qur’an, seperti firman Allâh Azza wa Jalla, (yang artinya), “Dan apakah tidak cukup bagi mereka sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu (Muhammad) al-Kitab (al-Qur’an) sedang dia (al-Qur’an) dibacakan kepada mereka ? Sesungguhnya di dalam al-Qur’an itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman”. [al ‘Ankabût/29:51].

Juga firman Allâh Azza wa Jalla:

وَمَا كُنْتَ تَرْجُوْٓا اَنْ يُّلْقٰٓى اِلَيْكَ الْكِتٰبُ اِلَّا رَحْمَةً مِّنْ رَّبِّكَ فَلَا تَكُوْنَنَّ ظَهِيْرًا لِّلْكٰفِرِيْنَ

Dan kamu (Muhammad) tidak pernah mengharap agar Al Qur’an diturunkan kepadamu, tetapi Al Qur’an diturunkan karena suatu rahmat yang besar dari Rabbmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu menjadi penolong bagi orang-orang kafir”.[al Qashash/28:86]

Sekian perkataan al-Imam asy-Syanqithiy rahimahullah dengan ringkas.

Yang menunjukkan keumuman rahmat dalam ayat yang sedang bicarakan ini ialah hadits shahih di bawah ini:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللَّهِ ادْعُ عَلَى الْمُشْرِكِيْنَ. قَالَ: إِنِّيْ لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً. (رواه مسلم)

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “(Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) pernah diminta, “Wahai Rasûlullâh, do’akanlah kecelakaan/kebinasaan untuk kaum musyrikin !”Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya aku tidaklah di utus sebagai pelaknat, sesungguhnya aku di utus hanya sebagai rahmat.[HR. Muslim, no. 2599]

Oleh karena itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi rahmat bagi manusia dan jin yang Mu’min, karena mereka telah mengambil dan memanfa’atkan rahmat dan nikmat yang sangat besar ini. Tetapi manusia dan jin yang kafir, mereka telah menolak dan menentang rahmat dan nikmat yang sangat besar ini…

Sedangkan rahmat untuk Malaikat, karena Allâh dalam al-Qur’ân juga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Sunnahnya telah memuji, memuliakan serta menjelaskan tentang Malaikat secara detail; tentang keutamaan, kemuliaan, keta’atan, sifat-sifat, penciptaan, tugas-tugas para malaikat. Juga keimanan kepada para Malaikat merupakan salah satu rukun iman. Maka kafirlah orang yang mengingkari keimanan kepada para Malaikat walaupun hanya satu Malaikat.

Itulah rahmat yang besar bagi Malaikat!

Adapun rahmat bagi jin –Mu’minnya dan kafirnya- adalah sama seperti manusia sebagaimana telah diterangkan sebelum ini.

Adapun rahmat bagi hewan, maka al-Qur’ân dan Sunnah atau hadits telah menjelaskannya secara terperinci:

  • Bahwa hewan adalah umat seperti manusia…
  • Kemanfa’atan hewan bagi umat manusia…
  • Hewan yang halal dan yang haram dimakan dagingnya…
  • Hewan yang haram dan halal di bunuh…
  • Hak-hak hewan…
  • Haramnya menyiksa hewan…
  • Berbuat kebaikan dan berkasih-sayang kepada hewan dan seterusnya.

Itulah rahmat bagi mahluk yang bernama hewan…!

Karena itu tidaklah aneh, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitahukan kepada kita, bahwa para Malaikat dan penduduk langit dan bumi sampai-sampai semut-semut yang berada di lobang-lobangnya dan ikan-ikan di air, memohonkan ampun kepada Rabbul ‘alamin untuk para Ulama yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.[3]

Kenapa demikian…? Di antara jawabannya :

  1. Pertama, karena para Ulama telah mengajarkan ilmu kepada manusia akan hak-hak hewan. Sehingga dengan sebab itu manusia kenal dan tahu hak-hak hewan secara terperinci sebagaimana tadi telah saya isyaratkan.
  2. Kedua, para Ulama sebagai penyambung lisan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , di mana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah di utus untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam dan salah-satunya adalah alam hewan. Jadi, para Ulama telah menyampaikan dan menyebarkan rahmat untuk hewan ini kepada manusia. Sehingga manusia tidak menzhalimi hak-hak hewan, dan mereka menempatkannya pada tempatnya masing-masing. Semua berjalan di atas landasan ilmu dan keadilan, bukan di atas kejahilan dan kezhaliman. Sehingga hak-hak hewan berjalan dengan penuh keadilan dan jauh dari kezhaliman.

Itulah rahmat yang sangat besar untuk hewan…!

Saya takjub ketika mendapati al-Imam al-Bukhâri –sebagai salah seorang amîrul mu’minin fil hadits– telah memberikan judul bab dalam kitab shahihnya di bagian Kitâbul Adab dengan judul bab : Baabu Rahmatin Nas wal Baha’im (Bab: Mengasihi/menyayangi manusia dan hewan)

Kemudian al-Imam Bukhâri telah  mentakhrij dan meriwayatkan dalam bab ini sebanyak enam hadits -dua di antaranya akan saya bawakan sekarang, sedangkan sisanya akan saya bawakan pada bab yang kedua dari risalah ini, insyââ Allâhu Ta’ala-:

Hadits pertama (no: 6009):

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه : أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِيْ بِطَرِيْقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيْهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ: لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنَ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِيْ كَانَ بَلَغَ بِيْ. فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيْهِ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ. قَالُوْا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، فِيْ كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu (dia berkata): Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Ketika seorang laki-laki sedang berjalan di suatu jalan, dia sangat kehausan sekali, lalu dia mendapati sebuah sumur, segera dia turun ke sumur itu dan meminum (airnya). Kemudian ketika dia keluar dari sumur, tiba-tiba ada seekor anjing yang sedang menjulurkan lidahnya sembil menjilati tanah karena kehausan.

Laki-laki itu berkata, “Sesungguhnya anjing ini telah menderita kehausan seperti yang pernah aku rasakan tadi”. Lalu laki-laki itu turun kembali ke sumur, kemudian dia penuhi sepatu botnya dengan air, (setelah itu dia keluar dari sumur) sambil menggigit sepatu botnya dengan mulutnya. Kemudian dia minumkan  ke anjing itu, maka Allâh bersyukur kepadanya dan mengampuni (dosa-dosa)nya”.

Para Shahabat bertanya: “Wahai Rasûlullâh, sungguhkah (apakah) kita akan mendapat pahala apabila kita berbuat kebaikan kepada binatang?”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Pada setiap mahluk yang hidup apabila kamu berbuat kebaikan kepadanya, maka kamu akan mendapat pahala”.[4]

Saya tertegun ta’jub ketika mendapati al-Imam al-Bukhâri membawakan hadits ini –selain di kitab shahihnya- di kitabnya Adabul Mufrad (378) dengan judul bab: Bâbu Rahmatil Bahâ‘im (Bab: Mengasihi/menyayangi hewan)

Hadits kedua (no: 6012):

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا مِنْ مُسْلِمٍ غَرَسَ غَرْسًا فَأَكَلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ أَوْ دَابَّةٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ

Dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu,, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Tidak seorang Muslim pun yang menanam sebuah tanaman, kemudian tanamannya itu dimakan oleh manusia atau binatang, melainkan dia mendapatkan (pahala) shadaqah dengannya”.[5]

Itulah dua buah hadits yang dibawakan oleh Imam al-Bukhari rahimahullah yang menunjukkan akan adanya rahmatul bahâim atau kasih-sayang dan berbuat kebaikan kepada hewan.

Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia ini yang menjadi rahmatan lil’alamin ketika ditanya oleh para Shahabat Radhiyallahu anhum :
“Wahai Rasûlullâh, sungguhkah kita akan mendapat pahala apabila kita berbuat kebaikan kepada binatang ?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Pada setiap mahluk yang hidup apabila kamu berbuat kebaikan kepadanya, maka kamu akan mendapat pahala.”

Di antara mahluk hidup adalah hewan…! Dari sini kita mengetahui dengan ilmu yakin, bahwa Islam-lah yang pertama kali meletakkan dasar-dasar kasih-sayang dan berbuat kebaikan kepada binatang atau hewan. Islam telah menetapkan hal itu jauh sebelum orang-orang kafir berbicara dengan lisan dan tulisan mereka.

Tetapi yang sangat kita sayangkan, sebagian dari mereka yang menyandarkan diri kepada Islâm, mereka yang telah terbenam dalam taqlid buta kepada orang-orang kafir –karena ketidaktahuan mereka terhadap Islâm dan apa yang mereka saksikan dari perbuatan sebagian kaum muslimin yang tidak islami dalam bab ini- mengatakan, bahwa orang-orang kafirlah yang pertama kali meletakkan dasar-dasar kasih-sayang kepada hewan!? Subhaanallah…! Begitu asingkah Islam pada ahlinya…?!

Para pembaca yang budiman, saya akan mengajak para pembaca untuk melanjutkan penelitian terhadap hadits-hadits yang lain dalam bab ini yang jumlahnya tidak sedikit, agar kita bisa berbicara dan berbuat berdasarkan bashîrah (ilmu). Di antara hadits-hadits tersebut yang saya tahu dan telah saya teliti sah atau tidaknya ialah :

Hadits ketiga:

عَنْ سَهْلِ ابْنِ الْحَنْظَلِيَّةِ قَالَ: مَرَّ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَعِيْرٍ قَدْ لَحِقَ ظَهْرُهُ بِبَطْنِهِ فَقَالَ: اتَّقُوا اللَّهَ فِيْ هَذِهِ الْبَهَائِمِ الْمُعْجَمَةِ فَارْكَبُوْهَا صَالِحَةً وَكِلُوْهَا صَالِحَةً. (رواه أبوداود)

Dari Sahl bin Handzaliyyah, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati seekor onta yang punggungnya telah merapat ke perutnya[6], maka beliau bersabda, “Takutlah kamu kepada Allâh terhadap binatang-binatang ini yang tidak dapat berbicara kepada kamu, naikilah dia dengan baik dan (kalau tidak dikendarai) maka biarkanlah (istirahatkanlah) dia dengan baik.” (Hadits shahih riwayat Abu Dawud, no: 2548).

Dalam riwayat lain yang telah dikeluarkan oleh Imam Ahmad dimusnadnya (4/180-181):

…وَخَرَجَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ حَاجَةٍ فَمَرَّ بِبَعِيْرٍ مُنَاخٍ عَلَى بَابِ الْمَسْجِدِ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ ثُمَّ مَرَّ بِهِ آخِرَ النَّهَارِ وَهُوَ عَلَى حَالِهِ فَقَالَ: أَيْنَ صَاحِبُ هَذَا الْبَعِيْرِ؟ فَابْتُغِيَ فَلَمْ يُوجَدْ فَقَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  : اتَّقُوا اللَّهَ فِيْ هَذِهِ الْبَهَائِمِ ثُمَّ ارْكَبُوهَا صِحَاحًا وَارْكَبُوهَا سِمَانًا – كَالْمُتَسَخِّطِ آنِفًا -…

“….. kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk suatu keperluan, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati seekor onta yang ditambatkan di depan pintu masjid dari awal siang. Kemudian beliau melewatinya lagi pada akhir siang dan keadaan onta itu masih sama seperti tadi, maka beliau bersabda, “Di mana pemilik onta ini?”. Maka dicarilah pemiliknya tetapi tidak didapatkan, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takutlah kamu kepada Allâh terhadap binatang-binatang ini yang tidak dapat berbicara kepada kamu, naikilah dia dengan baik dan kenyang –beliau sepertinya tidak menyukai dan tidak meridhai perbuatan itu-…”.

Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “takutlah kamu kepada Allâh terhadap binatang-binatang ini…” yakni akan dosa dan murka Allâh kepada kamu karena kamu telah menganiaya binatang-binatang ini.

Sabda beliau, “…yang tidak dapat berbicara kepada kamu…” yakni hewan-hewan itu tidak dapat berbicara kepada kamu dengan bahasa kamu, bahwa dia lapar, haus, lelah dan sakit. Penderitaan dan kesusahan yang menimpanya disebabkan kamu telah menzhaliminya, seperti kamu telah menyiksanya atau melelahkannya atau melaparkannya dan seterusnya yang masuk ke dalam bab kezhaliman.

Sabda beliau, “…naikilah dia dengan baik…” yakni naikilah dan kendarailah hewan ini dengan cara yang baik, janganlah dia dibebani lebih dari kemampuannya.

Sabda beliau, “…dan (kalau tidak dikendarai) maka biarkanlah (istirahatkanlah) dia dengan baik” yakni kalau kamu tidak sedang menaikinya atau mengendarainya, maka biarkanlah dia istirahat dengan cara yang baik dan berikanlah kepadanya istirahat dan makanan yang cukup.

Hadits keempat:

عَنْ سَهْلِ بْنِ مُعَاذٍ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ارْكَبُوْا هَذِهِ الدَّوَابَّ سَالِمَةً وَابْتَدِعُوهَا سَالِمَةً وَلاَ تَتَّخِذُوهَا كَرَاسِيَّ. (رواه أحمد والدارمي والحاكم والبيهقي)

Dari Sahl bin Mu’adz, dari bapaknya (yaitu Mu’adz bin Anas), dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Naikilah (kendarailah) binatang-binatang ini dengan baik, dan (kalau tidak dinaiki atau dikendarai) biarkanlah dia dengan baik, dan janganlah kamu menjadikan binatang-binatang ini sebagai tempat-tempat duduk”. [Hadits hasan riwayat Ahmad (3/440 & 4/234), ad-Dârimiy (2/286), Hakim (1/444 & 2/100) dan Baihaqiy (5/255)]

Hadits kelima:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ: أَرْدَفَنِيْ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَلْفَهُ ذَاتَ يَوْمٍ فَأَسَرَّ إِلَيَّ حَدِيثًا لاَ أُحَدِّثُ بِهِ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ. وَكَانَ أَحَبُّ مَا اسْتَتَرَ بِهِ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحَاجَتِهِ هَدَفًا أَوْ حَائِشَ نَخْلٍ.
قَالَ: فَدَخَلَ حَائِطًا لِرَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ فَإِذَا جَمَلٌ، فَلَمَّا رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَنَّ وَذَرَفَتْ عَيْنَاهُ فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَسَحَ ذِفْرَاهُ فَسَكَتَ فَقَالَ: مَنْ رَبُّ هَذَا الْجَمَلِ؟ لِمَنْ هَذَا الْجَمَلُ؟ فَجَاءَ فَتًى مِنَ الأَنْصَارِ فَقَالَ: لِيْ يَا رَسُوْلَ اللَّهِ .  
فَقَالَ: أَفَلاَ تَتَّقِي اللَّهَ فِيْ هَذِهِ الْبَهِيْمَةِ الَّتِيْ مَلَّكَكَ اللَّهُ إِيَّاهَا فَإِنَّهُ شَكَا إِلَيَّ أَنَّكَ تُجِيْعُهُ وَتُدْئِبُهُ.(رواه أبوداود وأحمد والحاكم)

Dari Abdullah bin Ja’far, dia berkata: Pada suatu hari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memboncengiku dibelakang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (ketika beliau menaiki ontanya), kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan sesuatu kepadaku secara rahasia, dan aku tidak mau menceritakannya kepada seorang manusiapun. Kemudian yang paling disukai oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menutup dirinya (agar tidak terlihat oleh manusia) ketika buang hajat adalah sesuatu yang tinggi atau pohon-pohon korma kecil[7].

Berkata Abdullah bin Ja’far: Kemudian beliau masuk ke sebuah kebun kepunyaan orang Anshar, maka tiba-tiba di situ ada seekor onta. Maka tatkala onta itu melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seketika onta itu menangis terisak-isak dan mengalirlah air matanya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam segera menghampirinya, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap punggungnya, maka berhentilah onta itu dari tangisnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapakah pemilik onta ini? Kepunyaan siapakah onta ini?” Lalu seorang pemuda dari kaum Anshar datang seraya menjawab, “Kepunyaanku wahai Rasûlullâh.”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (kepada pemuda itu), “Tidakkah kau takut kepada Allâh Azza wa Jalla pada binatang yang Allâh telah memberikan kekuasaan kepadamu untuk memilikinya ini!?. Sesungguhnya onta ini telah mengadu kepadaku, sungguh engkau telah membuatnya lapar dan lelah”.[Hadits shahih riwayat Abu Dawud (no: 2549), Ahmad (1/204-205) dan Hakim (2/99-100) dan yang selain mereka]

Hadits keenam:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: مَرَّ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رَجُلٍ وَاضِعٍ رِجْلَهُ عَلَى صَفْحَةِ شَاةٍ وَهُوَ يَحِدُّ شَفْرَتَهُ وَهِيَ تَلْحَظُ إِلَيْهِ بِبَصَرِهَا، قَالَ: أَفَلاَ قَبْلَ هَذَا؟ أَوَ تُرِيْدُ أَنْ تُمِيْتَهَا مَوْتَتَيْنِ؟ (رواه الطبراني في المعجم الكبير وفي المعجم الأوسط والحاكم)

Dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma , dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati seorang laki-laki yang sedang meletakkan kakinya di badan seekor kambing sambil dia mengasah pisaunya, sedangkan kambing itu melirik (melihat) kepada laki-laki itu dengan matanya. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (kepada laki-laki itu), “Mengapakah (kau tidak mengasah pisaumu) sebelum (kau rebahkan dan kau letakkan kakimu di badan kambing) ini ? Ataukah kau hendak mematikannya (menyembelihnya) dengan dua kali kematian (sembelihan)?” [Hadits shahih riwayat ath-Thabraniy dalam kitabnya al-Mu’jamul Kabîr (11916) dan dalam kitab al- Mu’jamul Ausath (3614) dan Hâkim (4/231 & 233)].

Al-Imam al-Hâkim telah memberikan judul bab pada hadits ini (4/231), “Hendaklah mengasah pisau terlebih dahulu sebelum merebahkan udh-hiyyah (hewan kurban yang akan disembelih)”

Hadits ketujuh:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ  رضي الله عنه عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: كُنَّا مَعَ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ سَفَرٍ فَانْطَلَقَ لِحَاجَتِهِ فَرَأَيْنَا حُمَرَةً مَعَهَا فَرْخَانِ فَأَخَذْنَا فَرْخَيْهَا فَجَاءَتِ الْحُمَرَةُ فَجَعَلَتْ تَفْرِشُ فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: مَنْ فَجَعَ هَذِهِ بِوَلَدِهَا رُدُّوا وَلَدَهَا إِلَيْهَا!
وَرَأَى قَرْيَةَ نَمْلٍ قَدْ حَرَّقْنَاهَا فَقَالَ: مَنْ حَرَّقَ هَذِهِ ؟ قُلْنَا: نَحْنُ. قَالَ: إِنَّهُ لاَ يَنْبَغِيْ أَنْ يُعَذِّبَ بِالنَّارِ إِلاَّ رَبُّ النَّارِ. (رواه أبودود والبخاري في الأدب المفرد والحاكم)

Dari Abdurrahman bin Abdullah Radhiyallahu anhu , dari bapaknya (yaitu Abdullah bin Mas’ud), dia berkata: Kami pernah bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan (safar). Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi (sebentar) untuk sesuatu hajatnya. Tiba-tiba kami melihat seekor burung kecil bersama kedua anaknya. Kami pun menangkap kedua anak burung itu. Lalu burung itu terbang rendah sambil berputar-putar, kemudian datanglah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau bersabda, “Siapakah yang telah menyakitkan dan membuat sedih burung ini disebabkan (kehilangan) anaknya ? Kembalikanlah anaknya kepadanya!”

Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat sarang semut yang telah kami bakar, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapakah yang telah membakar sarang semut ini?” Kami menjawab, “Kami”.

Beliau bersabda: “Sesungguhnya tidaklah patut menyiksa (mahluk) dengan api kecuali Pencipta api[8] [Hadits shahih riwayat Abu Dawud (2675 dan ini adalah lafazhnya & 5268), dan al-Bukhâri dalam kitabnya Adabul Mufrad (382) dan al-Hâkim (4/239)]

Al-Imam al-Hâkim telah memberikan judul bab pada hadits ini (4/239), “Cerita tentang seekor burung kecil yang mengadu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika kehilangan kedua anaknya”

Dalam riwayat al-Imam al-Hâkim, ketika para Shahabat mengambil kedua anak burung itu, maka burung itu datang kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (mengadukan halnya) sambil bersuara keras (berteriak)…”.

Dalam riwayat al-Imam al-Bukhâri di kitabnya Adabul Mufrad (382) dengan judul bab, “Mengambil telur ( kepunyaan) dari burung kecil”[9]

Abdullah (bin Mas’ud)mengatakan, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam safarnya) pernah singgah di suatu tempat, maka salah seorang mengambil sebutir telur (yang sedang dikerami untuk ditetaskan) kepunyaan seekor burung hummarah (burung kecil). Lalu burung itu pun datang terbang rendah berputar-putar di atas kepala Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapakah yang telah menyakitkan burung ini disebabkan kehilangan telurnya?” Laki-laki itu menjawab: “Wahai Rasûlullâh, sayalah yang telah mengambil telurnya”.

Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kembalikanlah telur itu kepadanya sebagai rahmat (kasih-sayang) kepada burung itu”.

Hadits kedelapan:

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ قُرَّةَ عَنْ أَبِيْهِ: أَنَّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللَّهِ إِنِّيْ َلأَذْبَحُ الشَّاةَ وَأَنَا أَرْحَمُهَا أَوْ قَالَ إِنِّيْ َلأَرْحَمُ الشَّاةَ أَنْ أَذْبَحَهَا. فَقَالَ: وَالشَّاةُ إِنْ رَحِمْتَهَا رَحِمَكَ اللَّهُ (مَرَّتَيْنِ). (رواه أحمد والبخاري في الأدب المفرد والحاكم وأبونعيم في الحلية)

Dari Mu’awiyah bin Qurrah, dari bapaknya (yaitu Qurrah al-Muzaniy dia berkata), “Seorang laki-laki pernah bertanya, “Wahai Rasûlullâh, sesungguhnya (ketika) aku akan menyembelih seekor kambing aku menyayanginya (aku merasa kasihan kepadanya) –atau orang itu berkata, “Sesungguhnya aku mengasihani seekor kambing (ketika) aku akan menyembelihnya-?

Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seekor kambing, jika kamu menyayanginya niscaya Allâh Azza wa Jalla akan menyayangimu[10] Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya dua kali. [Hadits shahih riwayat Ahmad (3/436 & 5/34), dan al-Bukhâri di kitabnya Adabul Mufrad (373 –dan tambahan dalam kurung dalam lafazh arabnya dari riwayat Bukhâri), dan al-Hâkim 3/586-587), dan Abu Nu’aim di kitabnya al-Hilyah (2/302 & 6/343)]

Hadits kesembilan:

عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  : مَنْ رَحِمَ وَلَوْ ذَبِيْحَةَ (عُصْفُوْرٍ) رَحِمَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه البخاري في الأدب المفرد والطبراني في المعجم الكبير)

Dari Abu Umamah, dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Barangsiapa menyayangi walaupun menyembelih seekor burung kecil, niscaya Allâh Azza wa Jalla akan menyayanginya pada hari kiamat”.

[Hadits hasan riwayat al-Bukhâri dalam kitabnya Adabul Mufrad (381) dan ath-Thabraniy dalam kitabnya al-Mu’jamul Kabîr (7913 & 7915 –dan tambahan dalam kurung dalam lafazh arabnya dari riwayatnya-].

Hadits kesepuluh :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: عُذِّبَتِ امْرَأَةٌ فِيْ هِرَّةٍ حَبَسَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ جُوْعًا فَدَخَلَتْ فِيْهَا النَّارَ.
قَالَ: فَقَالَ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ -: لاَ أَنْتِ أَطْعَمْتِهَا وَلاَ سَقَيْتِهَا حِيْنَ حَبَسْتِيْهَا وَلاَ أَنْتِ أَرْسَلْتِهَا فَأَكَلَتْ مِنْ خَشَاشِ الأَرْضِ. (رواه البخاري في صحيحه و في الأدب المفرد ومسلم والدارمي)

Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma (dia berkata): Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Seorang wanita telah di adzab disebabkan seekor kucing yang telah dia kurung sampai kucing itu mati kelaparan, maka dengan sebab itu dia masuk neraka”.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Maka Allâh Azza wa Jalla berfirman –padahal Allâh Azza wa Jalla lebih tahu-: “Engkau tidak memberinya makan dan tidak memberinya minum ketika engkau mengurungnya, dan tidak pula engkau membiarkannya (melepaskannya) agar kucing itu dapat mencari makan sendiri dari binatang-binatang kecil (seperti serangga) bumi”.

[Hadits shahih riwayat al-Bukhâri di kitab shahihnya (2365 –dan ini lafazhnya-, 3318 & 3482) dan di kitabnya Adabul Mufrad (379) dan Muslim (2242) dan ad-Darimiy (2/331)].

Hadits ini juga telah diriwayatkan dari jalan jama’ah para Shahabat sebagaimana telah saya takhrij di kitab yang lain.

Hadits kesebelas:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : بَيْنَمَا كَلْبٌ يُطِيْفُ بِرَكِيَّةٍ كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ إِذْ رَأَتْهُ بَغِيٌّ مِنْ بَغَايَا بَنِيْ إِسْرَائِيلَ فَنَزَعَتْ مُوقَهَا فَسَقَتْهُ فَغُفِرَ لَهَا بِهِ. (رواه البخاري ومسلم وأحمد)

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata,”Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Ketika seekor anjing memutari sebuah sumur hampir saja rasa haus membunuhnya, tiba-tiba salah seorang pelacur dari pelacur-pelacur Bani Israil melihatnya, maka segera dia membuka sepatunya (lalu dia mengambil air dengan sepatunya itu) kemudian dia memberi minum kepada anjing itu, maka dengan sebab itu diampunkan (dosanya)”.

[Hadits shahih riwayat al-Bukhâri (3321 & 3467 –dan ini lafazhnya-) dan Muslim (2245) dan Ahmad (2/507)]

Hadits kedua belas:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِّ: النَّمْلَةُ وَالنَّحْلَةُ وَالْهُدْهُدُ وَالصُّرَدُ. رواه أبوداود وأحمد والدارمي وابن ماجه وغيرهم.

Dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang membunuh empat macam binatang: Semut, lebah, burung hud-hud dan burung shurad”.

[Hadits shahih riwayat Abu Dawud (5267), Ahmad (1/332 & 347), Darimiy (2/88-89), Ibnu Majah (3224) dan lain-lain]

Hadits ketiga belas:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: قَرَصَتْ نَمْلَةٌ نَبِيًّا مِنَ الأَنْبِيَاءِ فَأَمَرَ بِقَرْيَةِ النَّمْلِ فَأُحْرِقَتْ فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَيْهِ: أَنْ قَرَصَتْكَ نَمْلَةٌ أَحْرَقْتَ أُمَّةً مِنَ الأُمَمِ تُسَبِّحُ (فَهَلاَّ نَمْلَةً وَاحِدَةً). رواه البخاري ومسلم

.Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salah seorang Nabi dari Nabi-Nabi (Allâh) pernah disengat oleh seekor semut, lalu dia memerintahkan untuk membakar sarang semut itu, maka Allâh Azza wa Jalla mewahyukan kepadanya, “Karena seekor semut yang telah menyengatmu maka engkau telah membakar satu umat dari umat-umat yang bertasbih (kepada Allâh), mengapakah tidak seekor semut saja!?”.[11]

[Hadits shahih riwayat al-Bukhâri (3019 & 3319) dan Muslim (2241). Tambahan dalam kurung dalam lafazh arabnya dari riwayat keduanya]

Itulah sebagian hadits yang telah menjelaskan kepada kita dari sabda-sabda suci Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia sebagai Nabiyyur rahmah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Islamlah yang pertama kali meletakkan dasar-dasar rahmatul bahâ-im, atau kasih-sayang kepada hewan yang telah ditinggalkan dan dilupakan oleh sebagian kaum muslimin. Maka ketika kita meninggalkannya, bangkitlah orang-orang kafir mengambilnya dari Islam yang sebenarnya itu adalah bagian kita yang sangat besar.

Kemudian orang-orang kafir berbicara dalam bab ini dengan panjang-lebar, baik lisan maupun tulisan sampai-sampai mereka telah berlebihan dan melampaui batas dari apa yang dikehendaki oleh Islam dan diajarkan oleh Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini disebabkan, karena memang mereka mengerjakannya bukan atas dasar iman dan mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tetapi mereka telah melihat, bahwa ajaran Islam dalam bab ini –sebagaimana semua ajaran Islam lainnya kalau sekiranya mereka mau mempelajarinya- amat sangat menakjubkan mereka. Kemudian mereka mengambilnya dan mempraktekkannya dan membuat berbagai macam peraturan sebagaimana telah kita ketahui.

Akan tetapi, walaupun mereka mengerjakannya bukan atas dasar keimanan kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, tetap saja hal ini sebagai hujjah besar akan kebenaran Islam dan  kebenaran dari kenabian dan kerasulan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabiyyur rahmah.

Kita perlu mengetahui –selain rahmatul bahaa-im– bahwa Islam yang tegak dengan ilmu dan keadilan, Islam yang datang untuk kemaslahatan bagi umat manusia, Islam yang menghilangkan segala macam mudharat ( bahaya) atau memperkecilnya, atau mendahulukan mencegah bahaya dari mengambil maslahat, atau menanggung bahaya yang kecil untuk kemaslahatan yang jauh lebih besar, atau memilih bahaya yang lebih kecil dari bahaya yang lebih besar, atau meninggalkan sebuah kemaslahatan untuk meraih kemaslahatan yang lebih besar atau dengan sebabnya tercegalah bahaya, telah membolehkan membunuh sebagian hewan yang membahayakan sebagaimana telah disabdakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها: أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: خَمْسٌ مِنَ الدَّوَابِّ كُلُّهُنَّ فَاسِقٌ يَقْتُلُهُنَّ فِي الْحَرَمِ: الْغُرَابُ وَالْحِدَأَةُ وَالْعَقْرَبُ وَالْفَأْرَةُ وَالْكَلْبُ الْعَقُوْرُ.
رواه البخاري ومسلم والترمذي والنسائي وابن ماجه وغيرهم.

Dari Aisyah Radhiyallahu anha (dia berkata): Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Ada lima macam binatang yang semuanya fasiq[12] diperbolehkan dibunuh di tanah haram (Makkah dan Madinah): Burung gagak, burung rajawali, kalajengking, tikus dan kalbul ‘aquur[13]

[Hadits shahih riwayat Bukhari (1829 & 3314), Muslim (1198), Tirmidziy (837), Nasaa-i (2829, 2881, 2882, 2887, 2888, 2890 & 2891) dan Ibnu Majah (3087) dan lain-lain]

Dalam salah satu riwayat Muslim:

عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: الْحَيَّةُ وَالْغُرَابُ الأَبْقَعُ وَالْفَأْرَةُ وَالْكَلْبُ الْعَقُوْرُ وَالْحُدَيَّا.

Dari Aisyah Radhiyallahu anha, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau telah bersabda, “Lima jenis binatang yang fasiq diperbolehkan di bunuh di tanah halal dan di tanah haram (Makkah dan Madinah): Ular, burung gagak yang putih punggung dan perutnya, tikus, kalbul ‘aquur dan burung rajawali”

Hadits yang sama juga telah diriwayatkan dari jalan Abdullah bin Umar:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: خَمْسٌ مِنَ الدَّوَابِّ مَنْ قَتَلَهُنَّ وَهُوَ مُحْرِمٌ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ: الْعَقْرَبُ وَالْفَأْرَةُ وَالْكَلْبُ الْعَقُوْرُ وَالْغُرَابُ وَالْحِدَأَةُ.
رواه البخاري ومسلم والنسائي وأبوداود وابن ماجه وغيرهم.

Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma (dia berkata): Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Lima jenis binatang barangsiapa yang membunuhnya dalam keadaan ihram, maka tidak ada dosa atasnya (yaitu): Kalajengking, tikus, kalbul ‘aquur, burung gagak dan burung rajawali”.

[Hadits shahih riwayat al-Bukhâri (1828 & 3315 –dan ini lafazhnya-), Muslim (1199 & 1200), Abu Dawud (1846), Nasaa-i (2828, 2832, 2835 & 2889) dan Ibnu Majah (3088) dan lain-lain]

Kemudian umumnya para Ulama telah mengkaitkan atau mengqiyaskan lima macam binatang yang telah diperbolehkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk di bunuh dengan binatang-binatang yang lainnya yang sering mengganggu dan membahayakan. Hal ini tidaklah menafikan rahmat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , justru hal ini bagian dari rahmat yang sangat besar sebagaimana  telah diketahui secara pasti oleh setiap orang yang berakal yang berjalan di atas akalnya yang sehat dan memiliki ketegasan.

Jakarta, pada bulan Syawwal 1432 H/September 2011
Abu Unaisah Abdul Hakim bin Amir Abdat 

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XV/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1]  Diintisarikan dari tafsir Ibnu Jarir dalam menafsirkan ayat yang mulia ini.
[2] Yakni ayat yang sedang kita bahas ini tentang diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi sekalian alam.
[3] Makna dari hadits Abu Umamah Radhiyallahu anhu yang dikeluarkan oleh Tirmidzi (2685) dan hadits Abu Darda’ Radhiyallahu anhu yang dikeluarkan oleh Abu Dâwud (3641), Tirmidzi (2682), Ibnu Mâjah (223) dan Ahmad (5/196).
[4]  Hadits ini juga telah dikeluarkan oleh Muslim (2244).
[5]  Hadits ini telah dikeluarkan juga oleh Muslim (1553).
[6] Barangkali saking kurusnya karena tidak diberikan makanan yang cukup dan dipekerjakan dengan berat sehingga melelahkannya.
[7] Yakni kebiasan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika buang hajat –buang air kecil- menjauh dari manusia, dan sesuatu yang beliau sukai adalah tembok atau dinding yang tinggi atau pohon-pohon korma kecil agar tidak terlihat oleh manusia.
[8]  yakni Allâh-lah Pencipta api yang berhak menyiksa mahluk-Nya dengan api.
[9] Mengambil sebutir telur atau lebih kepunyaan burung yang sedang dikerami untuk ditetaskan menafikan rahmat (kasih-sayang) kepada burung itu.
[10] Yakni, walaupun tetap engkau menyembelihnya –karena memang penyembelihan ini telah dihalalkan oleh Agama-, tetapi engkau menyayanginya dan mengasihinya dan merasa kasihan kepadanya, niscaya Allâh akan membalas kasih-sayangmu dengan kasih-sayang dari Allâh. Sesungguhnya balasan itu sesuai dengan jenis amalnya.
[11] Yakni, mengapakah engkau tidak membunuh seekor semut saja yang telah menyengatmu, bukan semuanya!
[12] Yakni yang memberikan gangguan dan membahayakan.
[13] Kalbul ‘aquur ialah setiap binatang yang membahayakan atau menyerang seperti anjing yang menyerang, srigala, singa, harimau, macan dengan beberapa jenisnya, ular dan lain-lain binatang yang sifatnya memberikan gangguan dan membahayakan sebagaimana dijelaskan di Fat-hul Baari’ Syarah Shahih Bukhari oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah (no: 1828 & 1829).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/35118-nabi-muhammad-di-utus-untuk-menjadi-rahmat-bagi-seluruh-alam.html